Beranda | Artikel
Keistimewaan Belajar Menurut Para Ulama dari Sahabat, Tabiin, hingga Generasi Setelahnya
Senin, 21 Oktober 2024

Keistimewaan Belajar Menurut Para Ulama dari Sahabat, Tabi’in, hingga Generasi Setelahnya adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Sabtu, 16 Rabiul Akhir 1446 H / 19 Oktober 2024 M.

Kajian Islam Tentang Dalil Keistimewaan Ilmu

Hakikat orang yang sukses dalam ilmunya adalah ketika ilmu itu bisa bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat, menurut Ibnu Rajab, adalah ilmu yang menghasilkan amal. Ketika kita berbicara tentang ilmu yang bermanfaat atau ilmu yang berkah, hal itu tidak bisa diukur dengan gelar, umur, atau masa pengalaman belajar.

Nasihat para ulama akan selalu kita butuhkan, meskipun kita pernah membaca, menyampaikan, atau bahkan menghafalnya. Hakikatnya bukan di situ, tapi apakah kita sudah bisa mengambil pelajaran darinya? Semoga apa yang kita pelajari benar-benar bermanfaat.

Pada pertemuan yang lalu, kita telah membahas dalil dari Al-Qur’an, dan kita juga telah membahas hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terkait keistimewaan belajar. Pada pertemuan kali ini, kita akan mempelajari perkataan dan nasihat para ulama, mulai dari para sahabat, tabi’in, hingga generasi setelah mereka.

Beberapa wasiat ini ternyata tidak semua shahih riwayatnya, terutama yang dinukil dari para sahabat, karena ada jalur periwayatan yang barangkali tidak bersambung. Namun, para ulama ketika menyebutkan tentang fadhilul ‘amal (keutamaan beramal), motivasi, dan tuntutan untuk semangat dalam beramal, mereka sering kali lebih meringankan pembahasan sanadnya.

Bahkan, beberapa perkataan Salaf seringkali disampaikan tanpa memperhatikan sanad. Ini dipraktikkan sebagai manhaj para muhadditsin (metode para ulama ahli hadits) yang dikenal dengan keteguhan dan kedisiplinan mereka. Akan tetapi, ketika membahas nasihat-nasihat, mereka membiarkannya sebagaimana adanya, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam dan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Kebanyakan nasihat-nasihat tersebut disebutkan begitu saja, padahal jika diteliti lebih dalam, sanadnya ada yang lemah. Namun, seperti yang telah disebutkan, nasihat tersebut hanya berfungsi sebagai penguat, sementara dalil yang menjadi pegangan telah kita pelajari dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ada beberapa atsar dari para sahabat yang dinukil, di antaranya lima yang disebutkan dari mereka. Ada yang dinukil secara marfu’, tetapi tidak shahih.

Yang pertama adalah perkataan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, yang sangat masyhur. Beliau mengatakan, “Cukuplah ilmu itu menjadi sebuah kehormatan ketika orang yang tidak berilmu mengaku memiliki ilmu dan bangga jika disebut berilmu. Cukuplah kebodohan menjadi sebuah kehinaan ketika orang yang benar-benar bodoh tidak mau diakui sebagai orang bodoh.”

Syaikh Shalih Al-Ushaimi mengatakan bahwa ini adalah fitrah manusia. Seseorang suka dipuji, dan tidak ada pujian yang lebih baik daripada disebut sebagai orang yang pintar. Ketika seseorang mengetahui bahwa ia sebenarnya tidak memiliki ilmu, maka berlaku apa yang sering kita dengar, “رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ” (Semoga Allah merahmati seseorang yang mengetahui dirinya sendiri).

Semoga Allah merahmati Imam Ahmad. Suatu ketika, beliau dipuji oleh seseorang, dan pujian tersebut disampaikan di belakangnya. Kita tahu, pujian yang disampaikan di depan orangnya, sering kali basa-basi, tetapi pujian yang disampaikan ketika orangnya tidak ada biasanya benar. Ketika seseorang menyampaikan kepada Imam Ahmad bahwa dia telah dipuji, beliau berkata, Wahai Abu Fulan, jika seseorang tahu dirinya sendiri (mengerti hakikat yang dimiliki), maka dia tidak perlu perdulikan perkataan orang lain.”

Orang mungkin memujinya karena dianggap berilmu, padahal ia tahu dirinya bodoh. Lalu, untuk apa ia bangga dengan sesuatu yang tidak ia miliki?

Tetapi sebagaimana yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, ilmu itu terhormat. Ketika seseorang tidak memiliki ilmu, tetapi bangga jika dikatakan ia berilmu. Kita juga pernah sampaikan bahwa terkadang seseorang tidak disebut sebagai ahli ilmu, tetapi dikumpulkan atau direkomendasikan bersama orang-orang yang berilmu. Dalam istilah sekarang, ini disebut tazkiyah atau rekomendasi. Orang yang direkomendasikan itu akan merasakan kebahagiaan. Namun, hal ini bisa merusak niat, apalagi jika ia sebenarnya tidak memiliki ilmu.

Perkataan kedua disebutkan oleh sebagian ulama Salaf bahwa sebaik-baik anugerah dari Allah adalah akal, dan seburuk-buruk musibah adalah kebodohan.

Akal yang dimaksud di sini bukanlah seperti yang kita kenal dalam konteks fisik, yang berkaitan dengan otak dan saraf. Namun, akal yang dimaksud di sini adalah akal yang digunakan untuk berpikir, yang tempatnya di hati. Firman Allah:

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46)

Maka tidak ada kebodohan dan musibah yang lebih buruk daripada seseorang yang tidak punya akal, dalam arti tidak berpikir.

Perkataan ketiga dinukil dari Abu Muslim al-Khaulani Rahimahullah. Beliau adalah seorang tabi’in yang meninggal pada tahun 62 Hijriah. Disebutkan dalam biografinya bahwa beliau masuk Islam pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi belum sempat bertemu dengan beliau. Abu Muslim baru datang ke Madinah pada masa pemerintahan Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu. Abu Muslim al-Khaulani berkata:

العلماء في الأرض كمثل النجوم في السماء…

“Para ulama pada kalangan masyarakat bumi bagaikan bintang-bintang di langit. Kalau nampak di depan orang, maka orang-orang akan menjadikan mereka sebagai panutan dan teladan. Namun, ketika para bintang (ulama) menghilang, masyarakat akan kebingungan.”

Ibnul Qayyim dan Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahumullah mengatakan bahwa kemiripan para ulama dengan bintang ditinjau dari tiga sisi. Pertama, bintang digunakan sebagai petunjuk, begitu pula para ulama dijadikan petunjuk oleh masyarakat. Jika ulama sesat, maka masyarakat pun ikut tersesat. Kedua, bintang digunakan Allah Azza wa Jalla sebagai hiasan di langit, sebagaimana para ulama menghiasi kehidupan kaum Muslimin dengan ilmu mereka. Ketiga, bintang digunakan untuk melempar kebatilan, sebagaimana ulama digunakan untuk membasmi kebatilan dan orang-orang yang membawa kebatilan tersebut.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54594-keistimewaan-belajar-menurut-para-ulama-dari-sahabat-tabiin-hingga-generasi-setelahnya/